3 hari sudah gw berada di jogja, mengais-ngais indahnya persahabatan. Sepeda ontel, tembok kokoh yang membentengi keraton, lampu remang jalanan, becak, dan malioboro menjadi saksi bisu indahnya masa lalu.
Pagi ini kami (lagi-lagi bedua) berkemas menyiapkan keberangkatan menuju pemberhentian kedua – kediri. Kenapa kediri? Karena ini adalah misi utama gw yg disematkan oleh orang tua untuk jenguk ade yg lagi les bahasa inggris di kampung inggris-kediri. Baju kotor sudah dicuci laundry kiloan, handuk basah sudah dijemur kering, peralatan mandi udah di masukin keresek kuning, ban sepeda (sepeda fixy temennya ndok) bocor udah ditambel. Selanjutnya mengepak baju dan perlengkapan2 lainnya satu persatu ke dalam tas carrier yang sejauh ini sangat berjasa.
Matahari semakin condong ke atas, waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB. Sementara gw belom tau mau naek apa ke kediri. Menjelang bulan puasa ini tiket kereta jadi mendadak susah dipesan. Ada peraturan baru yang membolehkan calon penumpang memesan tiket h-90 keberangkatan, sentak tiket2 habis terjual padahal stasiunnya sepi pengunjung. Satu2nya alternatif angkutan cuma angkot/bis/ - ngeteng. Sekelebat gw buka application maps di smartphone, melihat rute yang mungkin akan dilewati mobil angkutan umum.
Adrenalin and stress of an adventure are better than a thousand peaceful days -- Paulo Coelho. Setidaknya ini yg gw rasakan sekarang. Harap-harap cemas agar tidak tersasar, ditipu, dan hal2 buruk lainnya.
Keberangkatan dimulai dari terminal jombor, diantar oleh beberapa orang teman yg berdomisili di jogja. Lalu melanjutkan ke terminal giwangan, terus naek bis ekonomi AC ke arah kediri, (bis ini sedikit aneh, pasalnya terdapat senthir-obor di setiap pojok kaca mobil), kemudian turun di terminal jombang, lanjut lagi bis ekonomi ke pare, dari pare kami jalan kaki sampe ke tempat les bahasa inggris ade gw.
Beruntung sekali banyak orang yg mau/sudi/apalah membantu perjalanan nekat kami. Berawal dari terminal giwangan, sepasang tua suami istri yang duduk disebelah gw. Perawakan tua lemah namun senyumnya sangat menunjukan sisi keramahannya. Membawa bekal kardus dan karung beras, serta 2 kepal nasi bungkus. Mereka memperlakukan kami seperti orang yg sudah lama mereka kenal. Mereka banyak bercerita tentang keadaan tempat yg akan kami tuju (pare). Dari situ gw tau ternyata gw harus transit 1 mobil lagi untuk ke pare. Dengan baik hatinya mereka yg sudah seperti saudara dekat mangajak kami bareng, mereka ini yg akhirnya membimbing kami sampai ke pare.
Siang telah berganti malam, sinar matahari yg benderang berganti dengan lembutnya sinar rembulan. Ditambah lagi dengan keramahan penduduk lokal, tukang becak, dan seorang wanita yg melambai2 ke arah gw dari becak yg ditumpanginya. Seorang wanita??? Ia ada seorang wanita sebaya berbaju dinas pemerintahan yg lagi duduk menumpangi sebuah becak, dengan senyumnya dia melempar lambaian tangannya kw gw. Sepertinya si dia tadi satu bis dengan gw, dan sempet memperhatikan kepanikan gw yg lagi tanya sana sini tentang kondisi pare ke penumpang bis, hampir 1/3 bis yg duduk dibelakang saling melempar pendapatnya tentang kampung inggris, termasuk wanita itu.
Ternyata pare ga sekecil yg gw pernah bayangin, sesampainya di pare gw bingung cari2 dimana lokasi kampung ingrris. Beruntung (lagi) ad seorang pemuda sepantaran yang dari tadi kebetulan satu bis dengan gw mau mengantarkan kami sampai di kampung inggris. Gw masih inget jelas namanya adalah fahri. Mengigatkan gw ke masa SMA, dulu lagi jaman2nya film ayat ayat cinta, pemeran utamanya bernama fahri, dan kata2 yg paling diinget adalah “ana ila talaqi fi syeikh ustman”. Umar hajro dion (temen seasrama) gw paling jago menirukannya. Hha
Sesampainya di kp inggris gw harus berpisah dengan fahri karena kita berbeda tujuan. Malam semakin dingin dan jalanan mulai sepi. Gw dan zein melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Berhenti sebentar untuk makan malam dan bertanya tentang keberadaan lokasi yg akan di tuju. Lalu kami masuk gang sempit, keluar di kebun tebu, mentok kali, ikutin jalan pinggir kali. Kesunyian makin terasa di sini, suara jangkrik memekik telinga, derasnya aliran sungai menambah harmonis kesunyian, gak ketinggalan suara pohon tebu yang bergesekan tertiup angin malam yang dingin, tanpa penerangan sedikitpun kecuali cahaya bulan yang dengan baik hati selalu membimbing perjalanan malam itu.
Singkat cerita kami sampai di tempat ade gw les
bertemu dengan salah seorang pembimbing, ngobrol ngalor ngidul, dan akhirnya kami diizinkan menginap di sana.
Banyak banget keberuntungan yang gw dan temen gw dapet dalam perjalan ke rute pare-kediri ini. Banyak orang-orang yang sama sekali ga gw kenal rela membantu tanpa pamrih, yang tidak membantu pun setidaknya memberikan wajah ramah mereka.
Kalau kita berusaha menjadi baik, segala sesuatu di sekitar kita akan ikut menjadi baik
Suasana pagi di kp inggris sangat indah. Remaja-remaji lalu lalang dengan sepeda ontelnya. Berkeliling sekedar mengitari lokasi yg dikepung kebun tebu, atau juga mencari makan untuk menuntaskan hasrat perut di pagi hari. Kami duduk2 di saung bawah pohon, memperhatikan banyak wanita bersepeda ontel. Indahnya....
Bukti dokumentasi :
Ade gw dan tempat les nya
Di tengah ladang Jagung
Suasana kampung
Sepinya jalan raya
Masuk gang
???
Pentol - Makanan khas